Senin, 24 Maret 2014

Asuhan Keperawatan Penyakit Kuning (Jaundice)

Asuhan Keperawatan Penyakit Kuning (Jaundice)


Pengertian Jaundice

Kata jaundice berasal dari bahasa Perancis, dari kata jaune yang berarti kuning. Sakit kuning (jaundice) yang juga dikenal dengan ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah 1.

Etiologi

Pembuangan sel darah merah yang sudah tua atau rusak dari aliran darah dilakukan oleh empedu. Selama proses tersebut berlangsung, hemoglobin (bagian dari sel darah merah yang mengangkut oksigen) akan dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian dibawa ke dalam hati dan dibuang ke dalam usus sebagai bagian dari empedu. Gangguan dalam pembuangan mengakibatkan penumpukan bilirubin dalam aliran darah yang menyebabkan pigmentasi kuning pada plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin akan menumpuk kalau produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan antara produksi dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan perkursor bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibatproses fisiologi yang mengganggu ambilan (uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini 2.

Patofisiologis

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3 fase; prehepatik, intrahepatik, pascahepatik masih relevan. Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier 1. Jaundice disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.

1. Fase Prahepatik
Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut jaundice yang disebabkan oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah) 4
    a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30% datang dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.
    b. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.

2. Fase Intrahepatik
Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin 4
    a. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkojugasi oleh hati secara rinci dan pentingnya protein meningkat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.
    b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida / bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang tidak laurut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid. Reaksi konjugasi terjadi dalam retikulum endoplasmik hepatosit dan dikatalisis oleh enzim bilirubin glukuronosil transferase dalam reaksi dua-tahap.

3. Fase Pascahepatik
Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati oleh batu empedu atau tumor 4
    a. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini. Di dalam usus flora bakteri men”dekonjugasi” dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkojugasi dapat melewati barier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim glukuroniltransferase dan larut dalam empedu cair.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala. Secara klinis hiperbilirubinemia terlihat sebagai gejala kuning atau ikterus, yaitu pigmentasi kuning pada kulit dan sklera. Ikterus biasanya baru dapat dilihat kalau kadar bilrubin serum melebihi 34 hingga 43 µmol/L (2,0 hingga 2,5 mg/dL), atau sekitar dua kali batas atas kisaran normal; namun demikian, gejala ini dapat terdeteksi dengan kadar bilirubin yang lebih rendah pada pasien yang kulitnya putih dan yang menderita anemia berat. Sebaliknya, gejala ikterus sering tidak terlihat jelas pada orang-orang yang kulitnya gelap atau yang menderita edema. Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih sensitif untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh. Tanda dini yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap, yang terjadi akibat ekskresi bilirubin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukuronid. Pada ikterus yang mencolok, kulit dapat berwarna kehijauan karena oksidasi sebagian bilirubin yang beredar menjadi biliverdin. Efek ini sering terlihat pada kondisi dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi berlangsung lama tau berat seperti sirosis.

Gejala lain dapat muncul tergantung pada penyebabnya, misalnya:
    1. peradangan hati (hepatitis) bisa menyebabkan hilangnya nafsu makan, mual muntah, dan demam
    2. penyumbatan empedu bisa menyebabkan gejala kolestasis 3
Penilaian jaundice yang dilakukan pada bayi baru lahir, berbarengan dengan pemantauan tanda-tanda vital (detak jantung, pernapasan, suhu) bayi, minimal setiap 8-12 jam. Salah satu tanda jaundice adalah tidak segera kembalinya warna kulit setelah penekanan dengan jari. Cara menilai jaundice membutuhkan cahaya yang cukup, misalnya dengan kadar terang siang hari atau dengan cahaya fluorescent. Jika ditemukan tanda jaundice pada 24 jam pertama setelah lahir, pemeriksaan kadar bilirubin harus dilakukan. Pemeriksaan kadar bilirubin dapat dilakukan melalui kulit (TcB: Transcutaneus Bilirubin) , (TSB: Total Serum Bilirubin) dan penilaian faktor resiko. Kadar bilirubin yang diperoleh dari pemeriksaan ini dapat menggambarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi si bayi.
Faktor risiko mayor 5
    1.    TSB atau TcB di high-risk zone
    2.    Jaundice dalam 24 jam pertama
    3.    Ketidakcocokan golongan darah atau rhesus
    4.    Penyakit hemolisis (penghancuran sel darah merah), misal: defisiensi G6PD yang dibutuhkan sel darah merah untuk dapat berfungsi normal
    5.    Usia gestasi 35-36 minggu
    6.    Riwayat terapi cahaya pada saudara kandung
    7.    Memar yang cukup berat berhubungan dengan proses kelahiran, misal: pada kelahiran yang dibantu vakum
    8.    Pemberian ASI eksklusif yang tidak efektif sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi, ditandai dengan penurunan berat badan yang berlebihan
    9.    Ras Asia Timur, misal: Jepang, Korea, Cina
Faktor risiko minor 5
    1.    TSB atau TcB di high intermediate-risk zone
    2.    Usia gestasi 37-38 minggu
    3.    Jaundice tampak sebelum meninggalkan RS/RB
    4.    Riwayat jaundice pada saudara sekandung
    5.    Bayi besar dari ibu yang diabetik
    6.    Usia ibu = 25 tahun
    7.    Bayi laki-laki

Pengobatan
Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya jaundice akan menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan irreversibel (seperti sirosis bilier primer) dua yang akan mengikat garam empedu di usus. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat, hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K1) mg/hari SK untuk 2-3hari 1.
Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu diduktus, atau insersi stent, dan drainase bilier paliatip dapet dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik. Papilotomi endoskopik dengan pengeluaranbatu telah menggantikan laparatomi pada pasien dengan batu di duktus kholedokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin diperlukan untuk membantu pengenluaran batu di saluran empedu.
Pencegahan
Cara-cara mencegah peningkatan kadar pigmen empedu (bilirubin) dalam darah / mengatasi hiperbilirubinemia :
    1. Mempercepat proses konjugasi / meningkatkan kemampuan kinerja enzim yang terlibat dalam pengolahan pigmen empedu (bilirubin).
    2. Mengupayakan perubahan pigmen empedu (bilirubin) tidak larut dalam air menjadi larut dalam air, agar memudahkan proses pengeluaran (ekskresi), dengan cara pengobatan sinar (foto terapi).
    3. Membuang pigmen empedu (bilirubin) dengan cara transfusi tukar.
    4. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi

Daftar Pustaka
[1]. Sudoyo,Aru.W, dkk, eds., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Dep. Ilmu Penyakit Dalam : Jakarta, 2006, vol. I, hlm. 422-425
[2]. Kaplain, Lee M., Isselbacher, Kurt.J, “Harrison”, in Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, H.A,Ahmad, eds., EGC : Jakarta, 2000, vol.I, hlm. 263-269
[3]. Sakit Kuning (Jaundice), http://info-sehat.com/content.php?s_sid=1064, acces : 05 November 2007
[4]. Jaundice, http://en.wikipedia.org/wiki/Jaundice, last modified : 30 November 2007, acces : 05 Nopember 2007
[5]. dr. Itqiyah, Nurul, Jaundice / Kuning, http://www.sehatgroup.web.id/guidelines/isiGuide.asp?guideID=14, last modified : 15 Januari 2007, acces : 05 November 2007
[6] Quality improvement report: The “jaundice hotline” for the rapid assessment of patients with jaundice, doi:10.1136/bmj.325.7357.213 BMJ 2002;325;213-215 BMJ, volume 325, 27 July 2002, halaman 213

no image
  • Facebook Comments
  • Blogger Comments

0 komentar :

Posting Komentar

Top